Minggu, 20 Juli 2008

Industri Farmasi Harus Berbenah




Industri Farmasi Harus Berbenah

Jakarta, Kompas - Seluruh industri farmasi di Indonesia harus berbenah diri memenuhi ketentuan cara pembuatan obat yang baik (CPOB), bila ingin memasuki pasar internasional. Pembenahan tersebut mutlak dilakukan seiring rencana Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bergabung dalam Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme (PIC/S) tahun 2005 mendatang.

Pembenahan kemampuan merupakan konsekuensi dari keterlibatan Indonesia dalam skema kerja sama internasional, yang menjunjung pengakuan bersama hasil-hasil inspeksi produk farmasi. Survei sebelum tahun 2004 menunjukkan, kurang dari dua puluh persen dari 205 industri farmasi di Indonesia yang memenuhi ketentuan internasional CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) atau current Good Manufacturing Practice (cGMP).

Konsep GMP bersifat dinamis, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bergerak cepat. Karenanya, ketentuan GMP senantiasa berubah mengikuti perkembangan iptek mutakhir, baik dalam perangkat proses produksi maupun standar mutu produk.

"Sekarang ini, kami sedang memetakan kemampuan industri farmasi," kata Kepala Badan BPOM Sampurno di sela-sela Seminar Sehari GMP di Jakarta, Senin (26/7).

Dalam seminar itu, turut dihadirkan pembicara ahli komite GMP Jepang untuk berbagi penerapan sistem pengawasan produksi obat dan makanan di negara tersebut.

Pemetaan industri

Menurut rencana, pemetaan industri yang dilakukan bersama Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia itu akan selesai bulan Oktober 2004. Hasil pemetaan dimaksudkan untuk mengetahui komposisi terakhir kondisi industri farmasi, sebelum BPOM benar-benar bergabung dengan PIC/S.

Belum dipastikan jenis pembagian kualifikasi untuk mengukur pencapaian kemampuan perusahaan.

Menurut Sampurno, saat ini setidaknya terdapat sekitar 60-70 industri farmasi di Indonesia yang dipastikan memenuhi persyaratan GMP internasional. Artinya, mereka tidak perlu lagi berinvestasi untuk memenuhi persyaratan.

Sebagian lagi perlu penyesuaian dengan investasi tidak terlalu besar. Sisanya, industri yang harus mengeluarkan investasi besar agar memenuhi persyaratan internasional. Salah satu bentuk investasi yang harus ditempuh adalah membangun sistem pencatatan (recording) proses produksi, mulai dari pembelian bahan baku hingga distribusi produk sampai ke tangan konsumen.

Dari 27 negara anggota PIC/S, termasuk Malaysia dan Singapura, sistem pencatatan merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses produksi. "Kalau terjadi sesuatu dari produk farmasi, maka konsumen bisa dengan cepat melacaknya," kata Sampurno.

Beberapa manfaat menjadi anggota PIC/S, di antaranya adanya akses mengembangkan kemampuan, penghematan biaya melalui mekanisme kontrol impor, pelatihan pengawas berkala, terbangunnya jaringan dan kontak individu, serta keterlibatan dalam pengembangan GMP internasional.

Sambutan pengusaha

Rencana BPOM dan konsekuensi yang mengikutinya, menurut Ketua GP Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo, disambut kalangan industri farmasi secara beragam. Ada yang menyadari peningkatan mutu sebagai konsekuensi logis globalisasi, tetapi ada pula yang merasa keberatan. Pasalnya, dengan kemampuan seperti sekarang pun mereka merasa sudah mampu berjalan.

Mengenai jumlah perusahaan yang benar-benar siap mengikuti ketentuan internasional, Anthony tidak bisa menyebutkan angka pasti. "Tunggu saja sampai pemetaan tuntas dilakukan," kata dia.

Tidak ada kekhawatiran dari kalangan pengusaha berkaitan dengan penyetaraan kualitas. Pasalnya, hal itu tidak akan berdampak pada penutupan pabrik. Ada mekanisme toll manufacturing bagi perusahaan yang belum memenuhi standar yang ditetapkan.

Titip dibuatkan

Mekanisme toll manufacturing memungkinkan proses produksi farmasi dialihkan ke perusahaan lain yang telah memenuhi syarat dengan sistem ba- gi hasil. "Contohnya, kalau proses pembuatan obat sirupnya belum memenuhi standar, silakan diproduksi di tempat lain. Tidak masalah," kata Sampurno.

Di tengah mayoritas perusahaan farmasi yang masih sebatas memenuhi kebutuhan dalam negeri, masih ada produsen yang mampu mengekspor produknya. Tahun 2003 tercatat, nilai ekspor produk farmasi mencapai 100 juta dollar AS.

Salah satu negara yang paling ketat menerima barang ekspor adalah Jepang.

Pengawasan produksi farmasi di Jepang dilakukan oleh badan penanggung jawab jaminan mutu. Sistem pengawasan yang digunakan, termasuk pengawasan fasilitas pabrik, instalasi operasi, material yang digunakan selama proses produksi, dan komponen penunjang, seperti gudang. Juga dikontrol sejumlah bahan-bahan farmasi, dosis, pemrosesan dan tes sampel, serta proses validasi.

Selain itu, sistem pencatatan dan pemeriksaan label produk dan kontrol laboratorium, seperti pengetesan hasil akhir, metode analisa dan validasi/verifikasi, serta program pemantapan. (GSA)

Tidak ada komentar: